Hukumadat ini kan merupakan amanat konstitusi. Di situlah ada yang namanya azas keseimbangan, azas keadilan," kata Aartje Tehupeiory. Selama ini, Aartje Tehupeiory mendukung penuh DPR dan Pemerintah agar pembahasan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) sampai ada pengesahan, menjadi Undang-Undang.
Contohupaya pemerintah dalam pembangunan manusia adalah pemerataan pendidikan, program wajib belajar 12 tahun, serta pemberian beasiswa kepada siswa berprestasi. Sehingga ekonomi di daerah pesisir pantai dan pegunungan menjadi tumbuh, tentunya jika ini sudah berjalan dengan baik, dapat menekan jumlah urbanisasi.
Pelestarianbudaya merupakan upaya perlindungan dari kemusnahan atau kerusakan warisan budaya, seperti dikutip dari buku Kemenbudpar bertajuk "Kebijakan Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan". Maksud dari melestarikan budaya adalah agar nilai-nilai luhur budaya, yang ada di dalam suatu tradisi dapat tetap dipertahankan, meskipun telah melalui
Melestarikanadat istiadat merupakan upaya pembangunan di bidang - 35241571 alanaramadhani alanaramadhani 01.11.2020 IPS Sekolah Dasar terjawab Melestarikan adat istiadat merupakan upaya pembangunan di bidang a.ekonomi d.budaya 2 Lihat jawaban Iklan Iklan KOMPUTER7676 KOMPUTER7676 Jawaban:
t360mbw. Di era globalisasi yang menuntut daya saing tinggi, dampak langsung globalisasi yang mencairkan batas-batas geopolitik suatu negara telah nyata membawa perubahan modernisasi yang besar dalam berbagai aspek kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya John Naisbitt, 1994. Prediksi itu secara gradual juga melanda Indonesia yang ditandai oleh internalisasi paham global seperti universalisme, humanisme, ideologi politik, sistem ekonomi, dan ekologi, sebagai akibat logis dari interaksi bahkan invasi antar budaya oleh negara maju. Pada aspek sosial budaya, pengaruh globalisasi memuculkan budaya masa kini yaitu budaya kontemporer. Budaya pop atau budaya kontemporer, adalah proses penyatuan yang saling terkait dan saling berhubungan satu budaya dengan budaya lainnya secara masiv. Adapun beberapa pengaruh budaya kontemporer adalah, untuk mengubah pola pikir Mindset serta mengubah karakteristis budaya lokal orisinalitas budaya tergeser. Pengaruh dari luar tersebut diperparah lagi dengan timbulnya berbagai konflik kepentingan, perbedaan ideologi, serta ketidak seimbangan eksploitasi ekonomi, politik, sosial, dan budaya Setyaningrum, 2002. Globalisasi memunculkan kolonisasi budaya oleh negara-negara maju kapitalis sebagai produsen budaya kontemporer atas negara-negara berkembang termasuk globalisasi dapat dikatakan sebagai penyebab turunnnya moral bangsa Indonesia saat ini. Pesatnya perkembangan teknologi saat di era informasi, yang memudahkan orang mendapatkan informasi dari luar, merupakan salah satu pemicu tumbuh suburnya budaya kontemporer disertai doktrin-doktrin barat masuk dalam tatanan kehidupan sosial dan budaya masyarakat Indonesia. Timbulnya Trend perubahan mendasar pada gaya hidup di negara berkembang yang berorientasi pada konsumerisme, yang bahkan dikaitkan dengan faktor simbolik untuk menandai kelas, status, atau simbol sosial tertentu. Materialisme dan individualisme tumbuh dengan subur dalam budaya kontemporer, terlihat dari banyaknya orang lebih tertarik pada gaya hidup mewah tanpa memperdulikan nilai dan norma yang ada. Hal ini juga disebabkan antara lain karena kurangnya kepedulian dan apresiasi terhadap jati diri bangsa, serta kurangnya kemampuan masyarakat kita dalam menyaring hal-hal yang baik untuk memperkuat budayanya. Terbukti ketika kebudayaan kita diakui oleh bangsa lain, menyebabkan bangsa Indonesia panik. Beberapa ahli menegaskan bahwa pengaruh budaya kontemporer pada dasarnya di sau sisi dapat berdampak negatip karena melemahkan identitas, menggeser kebudayaan nasional, dan cenderung merubah gaya huidup seseorang. Di sisi lain dapat juga berdampak positif apabila kita mampu untuk memilih dan memilah faktor-faktor berpengaruh menjadi inspirasi seperti semangat dan kerja keras dalam menyebarkan budaya, serta menjadi sumber kretifitas dalam mengembangkan berbagai kesenian, kerajinan dan lain sebagainya. Bahkan dalam kesenian baik seni rupa, seni tari ataupun seni kerajinan, seringkali memunculkan hasil seni kontemporen yang menggabungkan antara seni tradisional dengan kreatifitas kontemporer. Hal ini menandakan bahwa kesenian yang bersifat dinamis ini, di era moderen ini masih banyak para seniman terus berupaya menghasilkan kesenian kontemporer dengan tetap melestarikannya penenaman ciri khas seni tradisional di era sebelumnya. Bagi pariwisata, keanekaragaman bentuk seni jelas merupakan daya tarik tersendiri yang dapat dikembangkan sebagai atraksi bagi wisatawan. Namun lebih penting lagi adalah pariwisata berkelanjutan dapat diposisikan sebagaui alat dalammendukung upaya pelestarian kebudayaa masyarakat khususnya kesenian tradisional yang ada.
Pelestarian Adat dan Budaya Pemerintah Desa Pematang Johar berkomitmen menjaga dan melestarikan adat istiadat, tradisi serta kearifan lokal yang ada di tengah-tengah masyarakat yang diwujudkan dengan tetap melestarikan pelaksanaan kegiatan-kegiatan sebagai berikut adalah Kegiatan Tepung Tawar Turun Benih Padi Sawah, dilaksanakan setiap akan dimulai tabur bibit. Penyambutan Bulan Suci Ramadhan Punggahan. Penyambutan 1 Muharram Suro-an. Kesenian Tradisional seperti Pencak Silat, Akep akep Sisingaaan ,Seni Tari, Kuda Kepang, Reok, Salawatan setiap hari Jumat bagi siswa seluruh sekolah yg ada di Desa Pematang Johar di Mesjid mesjid Untuk kegiatan Pencak silat Pemerintah Desa memberikan bantuan berupa seperangkat alat kesenian pencak silat dari dana APBDes tahun 2018. Pengrajin Batik Sawah dan Batik Mangrove. Kegiatan GEMTAHANA Gema Takbir Membahana Ketupatan dimalam ke 15 Ramadhan Kemudian tingkat partisipasi masyarakat Desa Pematang Johar juga dapat diukur dari kesadaran masyarakat untuk melunasi Pajak Bumi dan Bangunan PBB setiap tahunnya. Data realisasi Pajak Bumi dan Bangunan PBB di Desa Pematang Johar selama 2 dua tahun terakhir digambarkan dalam tabel di bawah ini TAHUN JUMLAH WAJIB PAJAK TARGET PBB REALISASI % 2017 80 2018 85 Sumber Data UPT Badan Pendapatan Kecamatan Pematang Johar
Di bidang BudayaMaaf kalo salahSemoga membantu JawabankebudayaanPenjelasandimana adat istiadat termaksut dalam bidang kebudayaan
6. Melestarikan adat istiadat merupakan upaya pembangunandi bidang...*O A. EkonomiO B. BudayaO C. AgamaO D. Pertahanan​ Jawaban○ B. BudayaPenjelasanSemoga MembantuDan Semoga Bermanfaat JawabanB. Budaya Penjelasanmaaf kalok salah
The serious challenge faced of local culture is to preserve its existence in the midst of the stream of globalization. Accurate strategies need to be defined to strengthen its endurance as a social capital in recent society. Cultural village is a product of policy of Yogyakarta regional government which promote the potency of local culture based on local people empowerment as an effort to preserve local culture. This research intended to analyze the implementation of cultural village policy as an effort to preserve local culture in Yogyakarta regional. The approach was descriptive-qualitative with case study method on a cultural village in Banjarharjo, Kali Bawang, Kulon Progo. The findings of this research showed that on the stages of implementation cultural village policy as a model of local culture preservation need to be followed with the policy of cultural village governance so that would be able to increase the welfare of this local culture conservationist society. Abstrak Tantangan serius yang dihadapi budaya lokal adalah mempertahankan eksistensinya di tengah terpaan arus globalisasi. Strategi-strategi jitu perlu dirumuskan untuk menguatkan daya tahan budaya lokal sebagai modal sosial dalam masyarakat kekinian. Desa budaya merupakan suatu bentuk kebijakan pemerintah daerah DIY yang mengembangkan potensi budaya lokal berbasis pemberdayaan masyarakat lokal dalam upaya pelestarian budaya lokal. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi kebijakan desa budaya sebagai model pelestarian budaya lokal di Provinsi DIY. Pendekatan penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan metode studi kasus pada satu desa budaya di Banjarharjo, Kali Bawang, Kulon Progo. Temuan penelitian menjelaskan bahwa pada tahapan implementasi, kebijakan penetapan desa budaya sebagai model pelestarian budaya lokal perlu ditindaklanjuti dengan kebijakan tata kelola desa budaya sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat pelestari budaya lokal ini. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free REFORMASI ISSN 2088-7469 Paper ISSN 2407-6864 Online Vol 4, 2014 102 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DESA BUDAYA DALAM UPAYA PELESTARIAN BUDAYA LOKAL Reny Triwardani dan Christina Rochayanti Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Yogyakarta e-mail Abstract The serious challenge faced of local culture is to preserve its existence in the midst of the stream of globalization. Accurate strategies need to be defined to strengthen its endurance as a social capital in recent society. Cultural village is a product of policy of Yogyakarta regional government which promote the potency of local culture based on local people empowerment as an effort to preserve local culture. This research intended to analyze the implementation of cultural village policy as an effort to preserve local culture in Yogyakarta regional. The approach was descriptive-qualitative with case study method on a cultural village in Banjarharjo, Kali Bawang, Kulon Progo. The findings of this research showed that on the stages of implementation cultural village policy as a model of local culture preservation need to be followed with the policy of cultural village governance so that would be able to increase the welfare of this local culture conservationist society. Keywords local culture preservation, cultural village, local policy Abstrak Tantangan serius yang dihadapi budaya lokal adalah mempertahankan eksistensinya di tengah terpaan arus globalisasi. Strategi-strategi jitu perlu dirumuskan untuk menguatkan daya tahan budaya lokal sebagai modal sosial dalam masyarakat kekinian. Desa budaya merupakan suatu bentuk kebijakan pemerintah daerah DIY yang mengembangkan potensi budaya lokal berbasis pemberdayaan masyarakat lokal dalam upaya pelestarian budaya lokal. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi kebijakan desa budaya sebagai model pelestarian budaya lokal di Provinsi DIY. Pendekatan penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan metode studi kasus pada satu desa budaya di Banjarharjo, Kali Bawang, Kulon Progo. Temuan penelitian menjelaskan bahwa pada tahapan implementasi, kebijakan penetapan desa budaya sebagai model pelestarian budaya lokal perlu ditindaklanjuti dengan kebijakan tata kelola desa budaya sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat pelestari budaya lokal ini. Kata kunci pelestarian budaya lokal, desa budaya, kebijakan lokal PENDAHULUAN Pasal 32 ayat 1 UUD 1945 menyatakan, “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”. Konsekuensi logis amanat konstitusi ini ialah upaya pelestarian kebudayaan merupakan tanggungjawab bersama antara negara dan masyarakat secara berkesinambungan. Kebudayaan nasional dapat dikatakan mengacu pada nilai-nilai unggulan dari budaya-budaya lokal yang selanjutnya menjadi warisan budaya bangsa Indonesia culture heritage. Hal ini senada dengan yang diungkapkan Sri Hartini, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Utara, ”Karena hanya kebudayaanlah warisan yang bisa kita turunkan ke generasi penerus. Itu pusaka” Kompas, 24 Juni 2014. Indonesia memiliki sumberdaya kebudayaan,baik tangible maupun intangible yang sangat beragam. Pada masa kini dan di masa depan kebudayaan akan sangat dipengarui oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Generasi muda sebagai pemangku kebudayaan di masa depan dituntut untuk memiliki kemampuan memanfaatkan keragaman sumberdaya kebudayaan untuk pembentukan ke-Indonesiaan Kongres Kebudayaan,2013. Menurut Davidson 19912, warisan budaya diartikan sebagai „produk atau hasil budaya fisik dari tradisi- REFORMASI ISSN 2088-7469 Paper ISSN 2407-6864 Online Vol 4, 2014 103 tradisi yang berbeda dan prestasi-prestasi spiritual dalam bentuk nilai dari masa lalu yang menjadi elemen pokok dalam jati diri suatu kelompok atau bangsa‟. Strategi kebudayaan kemudian perlu dibangun serius sebagai suatu upaya dinamis mempertahankan keberadaan budaya bangsa dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan sebagaimana amanat konstitusi. Pelestarian adalah sesuatu aktivitas atau penyelenggaraan kegiatan melindungi, mempertahankan, menjaga, memelihara, memanfaatkan, membina dan mengembangkan. Pelestarian juga merupakan sebuah proses atau upaya-upaya aktif dan sadar, yang mempunyai tujuan untuk memelihara, menjaga, dan mempertahankan, serta membina dan mengembangkan suatu hal yang berasal dari sekelompok masyarakat yaitu benda-benda, aktivitas berpola, serta ide-ide Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2003146. Menurut Koentjaraningrat 198483, pelestarian kebudayaan merupakan sebuah sistem yang besar, mempunyai berbagai macam komponen yang berhubungan dengan subsistem kehidupan di masyarakat. Kebudayaan merupakan cikal bakal dari masyarakat. Budaya dibuat oleh masyarakat, tidak ada masyarakat tanpa budaya, yang berarti hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan. Hakikat pelestarian budaya sendiri bukanlah sekadar memelihara sesuatu hal dari kepunahan dan atau menjadikannya awet semata-mata. Pelestarian budaya selain mempunyai muatan ideologis yaitu sebagai gerakan untuk mengukuhkan kebudayaan, sejarah dan identitas Lewis, 19834, juga sebagai penumbuh kepedulian masyarakat untuk mendorong munculnya rasa memiliki masa lalu yang sama di antara anggota komunitas Smith, 199668. Tantangan yang dihadapi dalam upaya pelestarian dan pengembangan kebudayaan memang tidak mudah. Aktualisasi budaya lokal dalam kehidupan bermasyarakat pada kenyataannya masih belum berjalan baik. Nilai-nilai budaya yang bersumber pada kearifan lokal dan kebudayaan suku-suku bangsa dengan masuknya unsur-unsur budaya asing dalam interaksi kebudayaan lintas bangsa, menyebabkan masyarakat cenderung abai terhadap nilai-nilai budaya lokal. Sebagai contoh, gerakan Gang Nam style begitu mudah populer daripada jathilan, atau dolanan tradisional seperti dakon, gobak sodor, menjadi kurang dikenal di kalangan anak-anak terkalahkan oleh computer game dan play station; bahkan nilai-nilai kearifan lokal seperti tepa slira, gotong royong, musyawarah mufakat, dan tenggang rasa sulit ditemukan lagi dalam kehidupan bermasyarakat masa kini yang cenderung individual. Di lain pihak, proses globalisasi juga memberi ruang bagi adanya pertukaran barang kebudayaan consumer goods dan percepatan konstelasi kebudayaan yang mengarah pada munculnya industri kebudayaan. Dalam konteks ini, penyeragaman atau homogenisasi kultural menjadi komoditas yang saling dipertukarkan. Akan tetapi pada saat yang sama, gerakan lokalisasi kebudayaan muncul sebagai tanggapan kultural yang unik terhadap kekuatan global yang berkarakter seragam, massif dan bias westernisasi. Serangkaian gejala sosial yang muncul akibat globalisasi tadi sekali lagi mengamanatkan pada para pengambil keputusan untuk segera mengubah arah kebijakan dalam pengelolaan sumber daya budaya. Budaya lokal sebagai sumberdaya budaya merepresentasikan nilai-nilai budaya unggulan berbasis kearifan lokal pada tataran masyarakat yang tinggal di desa, kabupaten, atau propinsi, yang berasal dari masyarakat setempat indigineous people dan bersifat lokal kedaerahan. Posisi budaya lokal dalam upaya pelestarian warisan budaya menjadi strategis dalam kerangka pembangunan kebudayaan nasional. Budaya lokal perlu memperkuat daya tahannya dalam menghadapi globalisasi budaya asing. Ketidakberdayaan dalam menghadapinya sama saja dengan membiarkan pelenyapan atas sumber identitas lokal yang diawali dengan krisis identitas lokal. Beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya tahan budaya lokal, antara lain 1 Pembangunan Jati Diri Bangsa, 2 Pemahaman Falsafah Budaya, 3 Penerbitan Peraturan Daerah, dan 4 Pemanfaatan Teknologi Informasi Safril Mubah, 2011302-308. REFORMASI ISSN 2088-7469 Paper ISSN 2407-6864 Online Vol 4, 2014 104 Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 yang memuat asas desentralisasi, memungkinkan pemerintah daerah untuk merumuskan regulasi bersifat lokal mengenai pelaksanaan pelestarian kebudayaan di suatu daerah. Strategi penerbitan peraturan daerah bertujuan untuk melindungi budaya lokal secara hukum dan menjamin kelestarian kebudayaan sebagai sumber daya budaya. Sesuai dengan Keputusan Gubernur nomor 325/KPTS/1995 tanggal 24 November 1995 telah ditetapkan 32 desa sebagai desa budaya di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Peraturan Daerah ini merupakan kebijakan lokal pemerintahan provinsi DIY sebagai upaya melaksanakan pembangunan regional menuju pada kondisi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2020 sebagai pusat pendidikan, budaya dan daerah tujuan wisata terkemuka, dalam lingkungan masyarakat yang maju, mandiri, sejahtera lahir batin didukung oleh nilai-nilai kejuangan dan pemerintah yang bersih dalam pemerintahan yang baik dengan mengembangkan ketahanan sosial budaya dan sumberdaya berkelanjutan. Desa budaya adalah bentuk konkrit dari pelestarian aset budaya. Pada konteks ini, desa budaya mengandung pengertian sebagai wahana sekelompok manusia yang melakukan aktivitas budaya yang mengekspresikan sistem kepercayaan religi, sistem kesenian, sistem mata pencaharian, sistem teknologi, sistem komunikasi, sistem sosial, dan sistem lingkungan, tata ruang, dan arsitektur dengan mengaktualisasikan kekayaan potensi budayanya dan menkonservasi kekayaan budaya yang dimilikinya. Status desa budaya juga mengandung makna penguatan regulasi dan penyusunan pondasi kebijakan yang mempermudah dan menjamin pelaku-pelaku di bidang kebudayaan dalam melestarikan dan mengembangkan potensi budaya lokal sehingga menumbuhkembangkan ketahanan budaya dalam kehidupan bermasyarakat. Sejumlah kendala masih ditemukan dalam melaksanakan pelestarian budaya lokal melalui desa budaya seperti persoalan sumberdaya manusia, kelembagaan dan sarana pra-sarana Rochayanti & Triwardani, 2013. Implikasinya, desa budaya sebagai wahana pelestarian budaya lokal masih belum berjalan optimal. METODE Penelitian ini lebih ditekankan pada pendekatan kualitatif, karena pendekatan ini lebih mengandalkan kekuatan pengamatan pancaindera untuk merefleksi fenomena budaya. Menurut Suwardi Endraswara dikatakan bahwa 200316 “Pendekatan kualitatif adalah lebih kepada pertimbangan pancaindera secara akurat untuk melihat kebudayaan yang cenderung berubah-ubah seiring perubahan jaman. Bahwa tradisi kualitatif cenderung peneliti sebagai pengumpul data, mengikuti asumsi kultural, dan mengikuti data, dengan kata lain penelitian kualitatif budaya lebih fleksibel, tidak memberi harga mati, reflektif, dan imajinatif “. Pemilihan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus, didasarkan pada tujuan untuk memperoleh deskripsi yang utuh dan realistis tentang implementasi kebijakan desa budaya di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data dengan observasi, wawancara dan dokumentasi. Lokasi penelitian ialah desa budaya Banjarharjo, Kalibawang, Kulonprogo. Fokus penelitian dalam diskusi kelompok terarah FGD dengan pengelola desa budaya, pekerja seni pertunjukan dan masyarakat desa, yaitu pertama, Sinergi Pemerintah Daerah dan Pengelola Desa Budaya Banjarharjo dalam melaksanakan Pelestarian kebudayaan meliputi a aktor pelaksana; b program; c sarana dan pra-sarana. Kedua, faktor pendukung dan penghambat dalam melaksanakan Pelestarian Kebudayaan. HASIL DAN PEMBAHASAN Model Pelestarian Budaya Lokal melalui Desa Budaya Dalam mendukung pelaksanaan pelestarian budaya, pemerintah daerah provinsi DIY menerbitkan peraturan daerah tentang penetapan 32 desa sebagai Desa Budaya. Desa Budaya mengemban amanat sebagai desa yang melaksanakan pelestarian kebudayaan. Pada model pelestarian REFORMASI ISSN 2088-7469 Paper ISSN 2407-6864 Online Vol 4, 2014 105 budaya lokal melalui desa budaya lihat desa budaya memiliki peluang menjadi destinasi wisata dan wahana pendidikan berbasis budaya lokal sekaligus memiliki tantangan yang harus dihadapinya, seperti sumber daya manusia SDM sebagai aktor pelaksana pelestarian budaya lokal Rochayanti & Triwardani, 2013. Sejumlah kendala yang berkaitan dengan pengelolaan desa budaya diantaranya; pertama, sumber daya manusia. Meningkatkan motivasi, pengetahuan, partisipasi, dan regenerasi warga masyarakat desa budaya untuk mengaktualisasikan dan mengkonservasi potensi budaya. Kedua, kelembagaan. Meningkatkan lembaga pengelola desa budaya melalui upaya pengorganisasian yang baik, meningkatkan manajemen dan pengembangan jaringan untuk mengaktualisasikan dan mengkonservasi potensi budaya. Dan ketiga, prasarana. Meningkatkan prasarana pendukung desa budaya melalui upaya pendanaan, peningkatan peralatan, peningkatan pemanfaatan informasi, dan perluasan akses untuk mengaktualisasikan dan mengkonservasi potensi budaya Rochayanti & Triwardani, 201311-12. Figure 1. Model pelestarian budaya lokal melalui desa budaya Tantangan Sumber Daya Manusia Peluang Destinasi Wisata Peran Desa Budaya Lestari Budaya Lokal Desa Mandiri Masyarakat Sejahtera Integrasi dan Harmoni Sosial Kebijakan Tata Kelola Desa Budaya Dasar Penetapan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta nomor 325/KPTS/1995 REFORMASI ISSN 2088-7469 Paper ISSN 2407-6864 Online Vol 4, 2014 106 Sumber Rochayanti & Triwardani 201311 Penguatan peran desa budaya membutuhkan dukungan aktor-aktor pelaksana. Aktor-aktor pelaksana yang dimaksudkan ialah pelaksana teknis dan non-teknis dalam melaksanakan pelestarian Kebudayaan, yang dalam hal ini adalah Dinas Kebudayaan Progo, Perangkat Desa Banjarharjo, Pengelola Desa Budaya, Masyarakat Desa. Sinergi di antara aktor-aktor pelaksana ini sangat penting untuk menyelaraskan pelaksanaan program-program pelestarian kebudayaan lokal. Gambar 1. Sinergi aktor-aktor pelaksana Tujuan utamanya adalah menciptakan keberhasilan pelestarian kebudayaan, menciptakan sinergi yang berkesinambungan, memberikan kemasan produk potensi budaya yang merupakan ciri khas desa budaya Banjarharjo, tanpa menghilangkan atau mengurangi keaslian budaya. Potensi Budaya di Desa Budaya Banjarharjo, Kalibawang, Kulon Progo Desa Banjarharjo terletak di kecamatan Kali Bawang, Kulon Progo dengan batas sebelah selatan dan barat yaitu, Desa Banjarasri dan sebelah utara desa Banjaroya. Desa Banjarharjo juga berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Sleman, Yogyakarta di sebelah timur. Desa Banjarharjo dialiri dua aliran sungai, yaitu sungai Krawang dan sungai Klepu yang alirannya masih alami dengan satu saluran irigasi yang mengalir sejajar. Aktor pelaksana pelestarian budaya lokal Pemerintah Daerah Pengelola Desa Budaya Masyarakat Lokal REFORMASI ISSN 2088-7469 Paper ISSN 2407-6864 Online Vol 4, 2014 107 Potensi budaya yang menjadi aset budaya lokal di desa Banjarharjo yang didalamnya memuat ide-ide, tradisi, nilai-nilai kultural, dan perilaku dalam kehidupan masyarakat setempat. Tabel 1. Potensi Desa Budaya Banjarharjo, Kalibawang, Kulon Progo Kesenian Tradisional Jathilan, Badui, Karawitan, Shalawatan, Campur Sari, Tarian Dolalak Kesenian Modern Tari Badui kontemporer Tradisi Masyarakat Merti Desa, Sambatan, Sadranan Upacara Adat manten, tingkeban, sepasaran, dan sebagainya Seni budaya dan tradisi di desa Banjarharjo dewasa ini mengalami berbagai perubahan. Perubahan yang terjadi antara lain punahnya sejumlah tradisi yang ada, baik yang berupa kesenian maupun tradisi yang pernah ada. Di samping itu, terdapat pula berbagai pengembangan seni dan tradisi yang ada. Seni budaya yang paling menonjol adalah Jathilan. Kesenian ini menyatukan antara komposisi tari dan ritual magis. Kesenian ini disebut juga jaran kepang atau jaran dor. Pagelaran dimulai dengan tari-tarian, kemudian para penari seolah kerasukan roh halus sehingga kehilangan kesadaran. Para penari bergerak mengikuti irama musik tradisional seperti gamelan, saron, kendang, gong. Ada pemain lain yang memegang pecut atau cemeti, dia adalah dukun atau pawing dan yang “mengendalikan” roh halus yang merasuki para penari. Selain kesenian Jathilan, beberapa kegiatan kesenian lain yang masih dilakukan seperti; 1 karawitan, 2 macapat, 3shalawat, dan 4 campursari. Semula kesenian yang ada difungsikan dalam pemenuhan kebutuhan naluri manusia, yakni kebutuhan akan keindahan, bahkan religi. Upacara adat sebagai implementasi kepercayaan dan rasa syukurnya kepada Tuhan diwujudkan dalam berbagai bentuk tradisi. Upacara adat yang merupakan rangkaian dan daur kehidupan manusia diselenggarakan secara berurutan yang dimulai dari upacara pernikahan. Upacara adat yang masih ada dalam kehidupan masyarakat ada yang dilakukan oleh perorangan anggota masyarakat, namun juga ada yang dilakukan secara kolektif dalam masyarakat satu desa secara bersama-sama. Upacara adat seperti manten, tingkeban, sepasaran, dan sebagainya, masih banyak dilakukan oleh masyarakat di desa Banjarharjo. Penyajian seni dan tradisi sebagian dapat dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan ritual, meskipun ada juga penyajian seni dan tradisi tersebut hanya sekadar sebagai tontonan atau hiburan pada acara-acara suatu perhelatan. Karena merupakan bagian dari pelaksanaan ritual, penyajian seni dan tradisi tertentu bermuatan norma dan nilai-nilai kearifan lokal yang berlaku dalam masyarakat pendukungnya dan amat dijunjung tinggi oleh pelaku seni dan amat dipahami oleh masyarakat pendukungnya. Sebagai bagian dari kegiatan ritual, pementasan seni tertentu atau pelaksanaan tradisi tertentu lebih mengutamakan aspek kemasyarakatan atau kegotongroyongan antar warga. Hal itu disebabkan kegiatan ritual yang melibatkan pementasan seni dan tradisi tersebut merupakan hajat REFORMASI ISSN 2088-7469 Paper ISSN 2407-6864 Online Vol 4, 2014 108 bersama masyarakat setempat. Sebagai misal adanya kegiatan bersih desa yaitu kegiatan ritual yang dilaksanakan oleh sekelompok masyarakat untuk memohon keselamatan seluruh warga. Sebagai bentuk hajat bersama masyarakat secara suka rela merancang wujud kegiatan, waktu, bahkan sampai masalah pembiayaan tanpa memikirkan untung rugi. Bagi masing-masing warga yang diutamakan adalah terlaksananya kegiatan bersama tersebut. Mereka memposisikan seni sebagai sarana untuk melabuhkan harapan untuk bisa menjaga/melestarikan budaya, di samping sebagai sarana untuk menghilangkan kepenatan batinnya. Beberapa potensi budaya fisik atau benda cagar budaya yang dapat dikembangkan menjadi daya tarik wisata budaya , diantaranya; 1 Makam Nyi Ageng Serang, periodisasinya masa kolonial. Nyi Ageng Serang adalah pahlawan nasional perempuan, penasehat spiritual Pangeran Diponegoro selama melawan Belanda dalam Perang Jawa 1825 - 1830 yang diberi gelar Pahlawan Nasional. Masyarakat Desa Banjarharjo mengadakan berbagai pentas seni dan budaya untuk mengenang jasa dan perjuangan Nyi Ageng Serang setiap tahunnya. Makamnya terletak di atas bukit di Dusun Beku, Desa Banjarharjo, Kecamatan Kalibawang, Kulon Progo. Pementasan seni pertunjukan yang biasa digelar pada setiap bulan Sura Muharram. yaitu tarian dolalak, kuda lumping, shalawatan. 2 Situs Jembatan Duwet, merupakan jembatan gantung yang menghubungkan dua wilayah di dua provinsi berbeda memiliki nilai historis. Potensi lain seperti seni kerajinan dan kuliner juga menambahkan daya saing desa budaya Banjarharjo menjadi destinasi wisata budaya. Slondok atau Lanthing, makanan ringan berbahan baku singkong ini menjadi produk unggulan desa Banjarharjo. Durian dan Buah Naga juga menjadi komoditas unggulan dengan kualitas terbaik, namun belum banyak ditemukan makanan olahan dengan bahan baku durian atau buah naga. Analisis implementasi kebijakan Desa Budaya di Desa Banjarharjo Analisis implementasi kebijakan desa budaya yang sudah berlangsung selama hampir dua dasawarsa pada desa budaya Banjarharjo, Kulon Progo memperlihatkan bahwa sinergi aktor-aktor pelaksana yang terlibat masih perlu ditingkatkan dalam rangka pengembangan potensi budaya dan pelestarian budaya lokal. Sebagaimana temuan dalam penelitian sebelumnya 2013, analisis SWOT desa budaya Banjarharjo adalah sebagai berikut; Gambar 2. Analisis SWOT Desa Budaya Banjarharjo Kelemahan W Lembaga desa budaya di tingkat desa dirasa masih sangat lemah fungsinya Forum komunikasi untuk mendukung pengembangan Desa Budaya Kekuatan S Kelengkapan sumber daya budaya sebagai aset budaya yang memuat unsur-unsur budaya Dukungan masyarakat desa budaya Peluang O Menjadi destinasi wisata budaya Tantangan T Pengaruh perubahan budaya dan perkembangan teknologi informasi & komunikasi yang berkembang cepat. Keterlibatan generasi muda dalam penyelenggaraan seni budaya REFORMASI ISSN 2088-7469 Paper ISSN 2407-6864 Online Vol 4, 2014 109 Berdasarkan Analisis SWOT di atas, implementasi kebijakan desa budaya masih belum optimal. Pengelolaan desa budaya berbasis pemberdayaan masyarakat dan sinergi dengan pemerintah daerah dalam pelaksanaan program pengembangan desa budaya masih perlu dikembangkan. Pelestarian budaya lokal dapat berlangsung secara berkelanjutan dengan basis kekuatan dalam, kekuatan lokal, kekuatan swadaya. Secara ringkas, ada tiga aspek prioritas pengembangan di desa budaya Banjarharjo, yaitu sumber daya manusia, kelembagaan, dan prasarana. Strategi kebudayaan ini merujuk pada peningkatan daya saing desa budaya menuju destinasi wisata budaya dan daya tahan budaya lokal dalam pelaksanaan pelestarian budaya. Di dalam Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 42 dan 40 Tahun 2009, telah dibahas mengenai bentuk pelestarian dapat dilakukan dengan pemanfaatan melalui pengembangan wisata. Pengembangan ini dapat diarahkan untuk menghasilkan sebuah kemasan produk atau daya tarik wisata budaya, yang menjadi ciri khas desa budaya Banjarharjo. Dalam upaya pengembangan suatu produk wisata budaya, pengelola desa budaya harus tetap menempatkan kekuatan dan potensi masyarakat lokal sebagai sendi pengembangan wisata. Prinsip-prinsip berkelanjutan dan proteksi terhadap aspek budaya yang tidak bisa dipisahkan dengan aspek lainnya di dalam pengelolaan wisata budaya. Desa budaya menjadi model kebijakan pelestarian budaya lokal yang mengakomodasi kepentingan masyarakat lokal untuk dapat mewariskan kebudayaan yang dimiliki sekaligus kepentingan pemerintah daerah untuk mempertahankan kebudayaan lokal ditengah-tengah dunia yang tanpa batas global village. Model pelestarian budaya lokal melalui desa budaya penting untuk dikembangkan dengan pendekatan manajemen destinasi. Hal ini dikarenakan desa budaya yang memuat sumberdaya-sumberdaya budaya memiliki peluang menjadi destinasi wisata. Beberapa langkah-langkah strategis yang dapat dilakukan berdasarkan manajemen destinasi pariwisata Damanik, Janianton dan Frans Teguh, 201330, sebagai berikut. 1. Kepemimpinan dan koordinasi. Penguatan lembaga desa budaya dalam menjalankan fungsi pengelolaan desa budaya 2. Kerjasama dan kemitraan. Penguatan forum komunikasi dan kordinasi antara masing-masing desa budaya dan pemerintah daerah terkait guna menciptakan sinergi berkelanjutan 3. Penelitian dan perencanaan. Penguatan pengembangan desa budaya sebagai suatu bentuk program, melakukan inventarisasi aset budaya secara berkala dan sosialisasi berbagai hasil kajian dan program pengembangan yang telah dilakukan oleh pemerintah propinsi terkait dengan pengelolaan desa budaya 4. Pendampingan masyarakat. Keterlibatan pemerintah daerah dalam hal ini melalui berbagai kegiatan fasilitasi untuk menggerakkan semua aset yang dimiliki di lingkungan desa budaya temasuk dukungan dan partisipasi masyarakat 5. Pengembangan produk. Penguatan potensi budaya baik tangible dan intangible yang memiliki nilai jual sebagai komoditi budaya. 6. Pemasaran dan promosi. Penguatan pemasaran dan promosi melalui kegiatan-kegiatan budaya di lingkungan desa budaya perlu dilakukan ajang kompetisi lomba, festival budaya secara rutin antar desa budaya yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. KESIMPULAN Kebudayaan memiliki sifat yang dinamis sehingga setiap saat kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat dapat mengalami perubahan. Kebijakan desa budaya dari pemerintah daerah Provinsi Istimewa Yogyakarta menjadi kebijakan strategis dalam melaksanakan pelestarian budaya REFORMASI ISSN 2088-7469 Paper ISSN 2407-6864 Online Vol 4, 2014 110 lokal. Implikasinya, Desa budaya menjadi wahana ekspresi dan apresiasi terhadap budaya lokal yang memuat nilai-nilai kearifan lokal. Penguatan peran desa budaya penting untuk melibatkan aktor-aktor pelaksana yang terlibat yakni, pemerintah daerah, pengelola desa budaya dan masyarakat lokal. Selanjutnya, model pelestarian budaya lokal melalui desa budaya ke depan perlu ditindaklanjuti secara bertahap pengembangan manajemen destinasi wisata budaya sebagai kebijakan lanjutan pemerintah daerah. Pengembangan desa budaya menjadi destinasi wisata budaya diharapkan tidak hanya mampu mewujudkan ketahanan budaya tetapi juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal pelestari kebudayaan. DAFTAR RUJUKAN Budihardjo, Eko , 1994, Percikan Masalah Arsitektur, Perumahan Perkotaan, Penerbit Gajah Mada University, Press Davison, G. dan C Mc Conville. 1991. A Heritage Handbook. St. Leonard, NSW Allen & Unwin. Lewis, M. 1983. “Conservation A Regional Point of View” dalam M. Bourke, M. Miles dan B. Saini eds. Protecting the Past for the Future. Canberra Australian Government Publishing Service. Rochayanti, Christina dan Reny Triwardani. 2013. A Lesson from Yogyakarta A Model of Cultural Preservation through Cultural Village. Proceeding 1st International Graduate Research Conference. Chiang Mai University Rumusan Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 di Yogyakarta, 8-11 Oktober 2013 Smith, L. 1996. “Significance Concepts in Australian Management Archaeology” dalam L. Smith dan A. Clarke eds. Issue in Management Archaeology, Tempus, Vol 5. SK Gubernur no. tanggal 24 November 1995 Pembentukan Desa Bina Budaya di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan desa-desa lain yang memenuhi kriteria sebagai Desa Budaya. Suwardi, Endraswara., 2003. Metode Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta Gadjah Mada University Press. ... Even though there has been much research on ethnic diversity, little is known about how language, and specifically bilingualism, may play a role in the relationship between ethnic identification and well-being in multilingual and multicultural contexts like Indonesia Sunarti & Fadeli, 2021. According to some studies by Triwardani 2015 and Daniels & Hebard 2018, speaking the language and being proficient in the dominant culture may be crucial for one to build a bicultural identity. Bilingualism is widespread in Indonesia, has been upheld down the generations, and is not hampered by national language assimilation laws. ...Vivi Novalia SitinjakNurilam HarianjaThe study of mixed marriages is always an interesting topic to talk about, especially regarding the topic which is the impact of inter-ethnic mixed marriages. This study aims to describe the phenomenon of mixed marriages associated with the maintenance of traditional language. This paper applies qualitative research on language maintenance by Javanese-Batak Toba Families in Medan. The research data were derived from observation, interviews, and audio-recorded family conversations, parents’ role at home is the most dominant factor in maintaining vernacular language in inter-ethnic families, and vernacular language maintenance in inter-ethnic families is succeeded by language use at home and activities at home and surroundings while Javanese-Batak Toba families are patriarchy. The practices of vernacular language at home and in surroundings guide vernacular language maintenance Pauwels,2016. The analysis displays that the relationship between culture, attitude, and prestige requires parents to maintain the vernacular language. Batak Toba language is maintained dominantly by families. Mother language is maintained. We conclude parents who have a positive attitude to their culture to show their prestige enforce children to maintain the vernacular language. This study recommends that further research explore vernacular language maintenance across three generations of Javanese-Batak Toba families.... Pengaruh budaya asing yang masuk ke Indonesia dapat mengubah cara pandang masyarakat Indonesia mengenai kehidupan dan dapat mengurangi kepedulian dengan budaya yang telah dimiliki Triwardani & Rochayanti, 2014. Daftar peringkat nasional berdasarkan 5 kategori dari tahun 2013 hingga tahun 2018 mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki 150 cagar budaya dan 819 warisan budaya tak benda ...Laili Insani Latifah Heni SiswantariPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui langkah-langkah pengembangan dan kualitas modul pembelajaran SBdP materi situs-situs budaya sebagai bahan ajar alternatif siswa kelas IV sekolah dasar menurut para ahli. Pengembangan modul pembelajaran SBdP materi situs-situs budaya menggunakan metode penelitian Research and Development dengan prosedur pengembangan model 4D yang dikembangkan oleh Thiagarajan, Semmel & Semmel. Tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu tahap define pendefinisian, tahap design perancangan, dan tahap develop pengembangan sampai pada uji kualitas produk yaitu penilaian oleh para ahli disertai dengan revisi. Analisis data menggunakan lembar penilaian validasi untuk para ahli. Jenis data yang digunakan untuk mengetahui kualitas pada penelitian pengembangan ini adalah jenis data kuantitatif dan kualitatif. Modul pembelajaran SBdP materi situs-situs budaya untuk peserta didik kelas IV Sekolah Dasar mendapat kategori baik dengan rata-rata nilai sebesar 3,14 dari nilai maksimal sebesar 4,00 dengan persentase 78,61%. Hasil penilaian dari ahli media diperoleh nilai 3,31 termasuk kategori sangat baik dengan persentase 82,81%. Hasil penilaian dari ahli materi diperoleh nilai 2,86 yang termasuk ke dalam kategori baik dengan persentase 71,66%. Hasil penilaian dari ahli pembelajaran diperoleh nilai 3,1 termasuk kategori baik dengan persentase 77,5%. Dan hasil penilaian dari ahli bahasa diperoleh nilai 3,3 yang termasuk ke dalam kategori sangat baik dengan persentase 82,5%.... Adynyana & Kaho, 2018 stated that currently, the Ministry of Tourism is developing three main potential tourist attractions in Indonesia consisting of natural tourism attractions 35%, cultural tourism attractions 60%, and artificial tourist attractions 5%. Along with the development of the industrial revolution, tourist destinations will experience development, so conservation is needed as an effort to maintain a tourist destination that will remain sustainable Triwardani & Rochayanti, 2014. Developing a tourist area must follow the applicable spatial plan and may not violate the rules in establishing a new tourism area Melang et al., 2019. ...Fransiskus Xaverius RemaEnok MaryaniTourism is an industrial sector that provides many benefits for survival, one of which is economic benefits. Tourism consists of three parts style, culture, and artificial. One of the tours that are currently being developed is cultural tourism. Cultural tourism is tourism that displays local wisdom to attract tourists. One cultural tour that requires management development is the cultural tourism of the Sa'o traditional house in Ngada Regency, East Nusa Tenggara Province. The Sa'o traditional house is an original traditional house belonging to the Bajawa ethnic community, which is in the traditional Bena village. This study aims to analyze the cultural tourism potential of the Sa'o traditional house for tourism development. The research method used in this research is mini research which is qualitative with a literature study approach. This research is a type of library research. The study results show that the Sa'o traditional house located in the traditional village of Bena has enormous potential to be developed and promoted in cultural tourism. The Sa'o traditional house has its characteristics special sections consisting of teda Wewa, teda one, and one. The Sa'o traditional house has a symbolic meaning for the Bajawa ethnic community consisting of Ngadhu, Bhaga, Watu Lewa, and Nabe. In developing the cultural tourism of the Sa'o traditional house, the participation of the government and the surrounding community is needed. An analysis of the inhibiting factors for cultural tourism of the Sa'o traditional house is Sa'O Traditional House, Bajawa Ethnicity, Cultural Tourism, Development... Pelestarian adalah suatu aktivitas atau penyelenggaraan kegiatan melindungi, mempertahan, menjaga, memelihara, memanfaatkan, membina dan mengembangkan. Pelestarian juga merupakan sebuah proses atau upaya-upaya aktif dan sadar, yang mempunyai tujuan untuk memelihara, menjaga dan mempertahankan, serta membina dan mengembangkan suatu hal yang berasal dari sekelompok masyarakat yaitu benda-benda, aktivitas berpola, serta ide-ide Triwardani, 2015. ...Tasha Soliha Ayunda Erda FitrianiEmizal AmriArtikel ini bertujuan untuk menjelaskan fungsi Sekolah Incung dalam pelestarian aksara Kerinci melalui pendidikan non formal. Hal ini menarik untuk dikaji karena aksara Incung merupakan salah satu ciri khas daerah Kerinci perlu untuk diperkenalkan dan dipelajari oleh seluruh masyarakat Kerinci. Namun faktanya pelestarian aksara Incung belum tercapai ke seluruh masyarakat Kerinci secara keseluruhan. Sehingga pada pelestarian aksara Incung ini perlunya sebuah wadah yang bisa lebih berfokus kepada pelestarian aksara Incung. Pada penelitian teori fungsionalisme dari Bronislaw Malinowski yang pada asumsi dasar teori ini adalah bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi semua masyarakat. Penelitian ini dilaksanakan menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe studi kasus. Kemudian untuk teknik pemilihan informan menggunakan teknik purposive sampling. Perolehan data penelitian didapat dari hasil observasi, wawancara dan studi dokumentasi. Untuk penelitian ini menggunakan teknik analisis data dari Miles dan Huberman. Pada hasil penelitian yang peneliti bahwa fungsi Sekolah Incung dalam melestarikan kebudayaan Tradisional Incung Penuh,.Kota adalah 1 Sekolah Incung memiliki fungsi mengedukasi kepada para peserta untuk menambah wawasan serta ilmu budaya khususnya aksara Incung kepada generasi muda, 2 Sekolah Incung memiliki fungsi meliterasikan generasi muda bagaimana cara membaca dan menulis aksara Incung, 3 Sekolah Incung memiliki fungsi pelestarian karena aktivitas atau program-program yang mereka lakukan menunjukkan upaya pelestarian aksara Kerinci.... Pernyataan SKJ tersebut menegaskan bahwa tujuan dari latihan seni karawitan adalah untuk melestarikan budaya. Hal ini senada dengan teori kebudayaan yang menyatakan bahwa tradisi harus dijaga dan dilestarikan Triwardani & Rochayanti, 2014. Namun hal itu bukan berarti menutup kemungkinan bagi lahirnya gendhing-gendhing baru dengan tetap bernafaskan seni karawitan. ... M. SuyadiWaharjani WaharjaniSumaryati SumaryatiSaedah Binti SirajVillage Prenggan, Kemantren Kotagede Yogyakarta has been piloting an anti-corruption village by the Komisi Pemberantasan Korupsi KPK since 2013. However, until now 2022 the village has not succeeded in becoming an anti-corruption village. In fact, the KPK prefers Kelurahan Panggungharjo, Bantul Regency as the first anti-corruption village in Yogyakarta. This is because the anti-corruption village programs in Prenggan have not been carried out thoroughly. This article is the result of a community empowerment program in Prenggan village towards an anti-corruption village. The target partner groups for this community service are the Prenggan Mubaligh Association Paguyuban Mubaligh Prenggan and the TK ABA Komplek Masjid Perak Yogyakarta. The methods used are training, counseling and anti-corruption assistance. The results of this community service show that 1 The Prenggan Mubaligh Association has succeeded in developing anti-corruption propaganda gendhings. Every preacher who preaches always carries a message of anti-corruption values with a touch of art; 2 The TK ABA Komplek Masjid Perak, which originally had an anti-corruption literacy reading, has now succeeded in completing it with anti-corruption exercises. Anti-corruption literacy is a ratio exercise, while anti-corruption gymnastics is a sport. As for the values of Islam and Aisyiyahan are the feelings or the heart. Thus, the TK ABA Komplek Masjid Perak combines ratio training through anti-corruption literacy, sports through anti-corruption gymnastics, and heart exercises through Islamic values. In fact, this school became the prototype of the first anti-corruption school at the early childhood level in Indonesia. Thus, a mosque-based anti-corruption village that is more bottom-up in nature can be a complement to the anti-corruption village formed by the KPK which is more top-down.... In tourism science, an attraction is needed which some of them are cultural activities that focus on the development of culturebased tourism. Strengthening local culture that can be used as a tourist attraction is not just an ordinary attraction but it has a cultural strengthening from the flow of globalization [1]. ...A. A. Kade Sri Yudari SriI Wayan DauhTulisan ini mengkaji kearifan lokal yang dilakukan para pemuda Tenganan Dauh Tukad ketika memasuki masa akil balig, setiap tahun, pada bulan ketiga menurut perhitungan kalender setempat. Tujuan penelitian untuk mengetahui alasan tradisi mesabatan biu dipertahankan dan mengetahui makna simbol–simbol yang digunakan dalam atraksi. Dengan menggunakan metode kualitatif, analisis deskriptif interpretatif serta pendekatan antropologi sastra dapat mengungkap sikap dan perilaku masyarakat yang berpegang teguh pada keyakinan terhadap mitologi dan pemujaan leluhur. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa tradisi mesabatan biu mengingatkan keperkasaan para pendahulu saat mempertahankan wilayah yang akhirnya jatuh di tangan penguasa Majapahit. Hal ini terbukti masih eksisnya bangunan suci Pura Dalem Majapahit sebagai simbol kuasanya. Adapun sarana yang digunakan hanyalah simbol bahwa wilayah tersebut merupakan perkebunan kelapa dan pisang. Semangat pantang menyerah mempertahankan wilayah terekspresi melahirkan tradisi perang-perangan yang unik. Kondisi demikian menjadikan desa Tenganan Dauh Tukad sebagai salah satu desa wisata di Kabupaten Kartika SariSukamto SukamtoAgus PurnomoI Nyoman RujaA qualitative approach is used in this study. Data collection techniques are documentation, interviews, and observations. The analysis technique uses the Miles and Huberman interactive model. The objectives of this study include 1 the role of the Ronggolawe Creative Center community in preserving culture, 2 describing the social construction of the Ronggolawe Creative Center. The results of the research are 1 The role of the RCC community through the stages of protecting, exploring, socializing, and preserving culture, 2 The social construction of the RCC community in preserving culture through three stages, the first is externalization, objectification, and internalization. Pendekatan kualitatif digunakan dalam penelitian ini. Teknik pengumpulan data yaitu dengan dokumentasi, wawancara, dan observasi. Teknik analisis menggunakan model interaktif Miles and Huberman. tujuan penelitian ini diantaranya 1 peran komunitas Ronggolawe Creative Centre dalam melestarikan kebudayaan, 2 mendeskripsikan konstruksi sosial atas Ronggolawe Creative Centre. Hasil penelitian adalah 1 peran komunitas RCC melalui tahap melindungi, menggali, mensosialisasikan, dan melestarikan kebudayaan, 2 konstruksi sosial komunitas RCC dalam melestarikan kebudayaan melalui tiga tahap, yang pertama eksternalisasi, objektivasi, dan Noiman DerungAurelia Yosefa MoiFransisca RidaRikky Jaya Subita RikkyAgama adalah salah satu institusi sosial yang merupakan bagian dari fakta sosial. Selain itu agama juga sering kali didefinisikan sebagai kepercayaan Tuhan yang maha kuasa. Jika budaya itu di langgar, maka akan mendapatkan musiba yang setimpal. Tujuan dari penelitian ini supaya manusia lebih memahami nilai agama dan budaya, sehingga bisa diterapkan dengan baik di lingkungan masyarakat. Dalam Penelitian ini peneliti meneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dengan kajian pustaka yang diperoleh dari dokumen- dokumen seperti artikel, buku dan juga dari internet. Hasil penelitian menemukan bahwa upacara reba sebagai bentuk rasa syukur masyarakat atas hasil panen yang didapatkan selama setahun. Dalam menjalankan upacara reba ada tiga tahap atau rangkaian penting didalamnya yaitu; kobe dheke, kobe dhoi, dan kobe su’i. Kobe dheke menjadi kegiatan inti yang harus dilakukan karena semua anggota keluarga berkumpul di rumah adat atau Sa’o. Perbuatan masyarakat yang berada di Desa Langa harus seimbang, baik agama mapupun budaya yang SuhayatZaza Yulianti Amelia Syarifuddin AsSupriyanto SupriyantoIstana Adat Kesultanan Palembang Darussalam dibangun sebagai salah satu upaya dalam melestarikan memori kolektif Kesultanan Palembang Darussalam. Tetapi, keberadaan Istana Adat Kesultanan Palembang Darussalam masih kurang diketahui oleh masyarakat luas. Dengan menggunakan metode penelitian sejarah, penulis mengumpulan sumber sejarah melalui observasi, wawancara, dan studi kepustakaan, menguji atau menilai sumber tersebut secara kritis, serta disajikan hasil yang pada umumnya berbentuk tulis dengan metode kualitatif deskriptif menekankan pemahaman mengenai topik yang akan diteliti berdasarkan kondisi realitas. Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis dapat ditarik kesimpulan bahwa eksistensi dari Istana Adat Kesultanan Palembang Darussalam sebagai wadah pelestarian adat budaya Palembang masih dapat terlihat. Hal ini dapat dibuktikan dengan terdapat kunjungan- kunjungan serta kegiatan-kegiatan baik internal maupun eksternal yang ChiangChristina Rochayanti Reny TriwardaniIn the face of global cultural struggle which pumped capital strength, strengthening local cultural inheritance on the agenda of the local government of Yogyakarta. Determination of cultural village became a strategy to maintain their local culture. This study aims to explain how the role of culture as a model village preservation of local culture. The study was conducted with the observation, in-depth interviews and documentation on two villages namely Banjarharjo and Agomulyo. The results showed that the identity of a given cultural village in selected villages has encouraged the involvement of local communities to act as an agent of local cultural preservation. Some of the potential of cultural villages can still be developed and must involve stakeholders as local cultural preservation strategy. Introduction Indonesia is one country among other countries that has a very rich and diversed culture. According to Koenjtaraningrat 1996, culture is a whole system of ideas, actions and products of human endeavor in the context of a society that belongs to human beings by learning . This notion refers to the idea of J. J Honigmann 1973, about a form of cultural or so-called "cultural phenomenon". Honigmann divides culture into three states , those are in the form of the idea of culture , patterns of action and artifacts or objects . Cultural diversity of the nation is a major source of wealth and in the construction of identity, national pride, and sturdiness of national unity. Therefore, all the cultural potential must be maintained and continued to be imparted to the younger generation. Preservation of national culture was facing a challenging universal phenomenon. As a consequence of the rapid development of science and technology in today's globalization era, intercultural relations became more open and affect each other. Meanwhile, inter-ethnic cultural relations demonstrate openness. The era of globalization opens intercultural process trans-cultural and cross-cultural cross-cultural that continuously brings one cultural values with another. Meeting of cultural values or cultural contact can result in two possibilities, assimilation and acculturation. In order to take advantage of the meeting process of culture, each nation should strive to improve the tenacity of the community culture. It is very essential because without any attempt to improve the tenacity of culture adequately, the national culture will not be able to contribute to the formation of a global culture but easily drag on in intercultural meetings that occur so that the identity and national pride will disappear. Yogyakarta has a vision that the provincial government in 2020 as a leading cultural center. Local culture is an excellent potential for regional development, especially in the sectors ofPercikan Masalah Arsitektur, Perumahan Perkotaan A Heritage HandbookDaftar Rujukan BudihardjoDAFTAR RUJUKAN Budihardjo, Eko, 1994, Percikan Masalah Arsitektur, Perumahan Perkotaan, Penerbit Gajah Mada University, Press Davison, G. dan C Mc Conville. 1991. A Heritage Handbook. St. Leonard, NSW Allen & A Regional Point of ViewM LewisLewis, M. 1983. "Conservation A Regional Point of View" dalam M. Bourke, M. Miles dan B. Saini eds. Protecting the Past for the Future. Canberra Australian Government Publishing Concepts in Australian Management ArchaeologyL SmithSmith, L. 1996. "Significance Concepts in Australian Management Archaeology" dalam L. Smith dan A. Clarke eds. Issue in Management Archaeology, Tempus, Vol Penelitian KebudayaanEndraswara SuwardiSuwardi, Endraswara., 2003. Metode Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta Gadjah Mada University Masalah Arsitektur, Perumahan PerkotaanEko Daftar Rujukan BudihardjoDAFTAR RUJUKAN Budihardjo, Eko, 1994, Percikan Masalah Arsitektur, Perumahan Perkotaan, Penerbit Gajah Mada University, PressA Lesson from Yogyakarta A Model of Cultural Preservation through Cultural Village. Proceeding 1 st International Graduate Research ConferenceChristina RochayantiDan RenyTriwardaniRochayanti, Christina dan Reny Triwardani. 2013. A Lesson from Yogyakarta A Model of Cultural Preservation through Cultural Village. Proceeding 1 st International Graduate Research Conference. Chiang Mai University Rumusan Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 di Yogyakarta, 8-11 Oktober 2013KPTS/1995 tanggal 24 November 1995 Pembentukan Desa Bina Budaya di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan desa-desa lain yang memenuhi kriteria sebagai Desa BudayaSk GubernurSK Gubernur no. tanggal 24 November 1995 Pembentukan Desa Bina Budaya di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan desa-desa lain yang memenuhi kriteria sebagai Desa Budaya.
melestarikan adat istiadat merupakan upaya pembangunan di bidang